Tradisi korupsi


 Gambar diambil dari http://km-alhikmah.blogspot.com/2012/06/berantas-korupsi-dari-akarnya.html
Gambar diambil dari http://km-alhikmah.blogspot.com/2012/06/berantas-korupsi-dari-akarnya.html
Korupsi berasal dari bahasa latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikan atau menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum

  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau perusahaan;
Beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);

  • penggelapan dalam jabatan;

  • pemerasan dalam jabatan;

  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

  • menerima gratifikasi.
Dari dulu sampai sekarang, yang sudah melewati 3 orde (lama, baru sampai reformasi), cerita  tentang korupsi seperti tidak ada habisnya. Seperti sinetron di televisi, satu judul belum selesai, muncul judul baru. Yang bikin jengkel malah satu judul belum ending, tapi udah tidak tayang lagi alias menghilang dari peredaran. mirip iklan rokok di TV “kasus korupsi… HILANG”
Di berbagai instansi, korupsi seperti sudah menjadi tradisi, dianggap wajar dan biasa. “Ini kan hasil kerja kita…” atau “ini kan uang tambahan karena kita sudah capek” dan lain sebagainya lah. Karena sudah menjadi tradisi, cerita tentang ligar-liger anggaran atau main potong kanan-kiri depan-belakan dianggap biasa saja dan wajar saja. Jangankan ada yang protes, cuma tanya sedikit saja bisa dianggap sebagai orang sok bersih & idealis.
Dalam wikipedia kondisi-kondisi yang menyebabkan munculnya korupsi antara lain adalah:
  • Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.

  • Lemahnya ketertiban hukum.

  • Lemahnya profesi hukum.

  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Dari 9 kriteria di atas, pembaca pasti tahu beberapa point yang cocok dengan situasi di Indonesia.
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia, sampai-sampai para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, malah jadi aktor-aktor utama. Mereka lebih tahu hukum, lebih paham aturan, tapi malah mereka yang melanggar. Mungkin karena mereka tahu celah-celahnya jadi mereka lebih lihai. Tidak tanggung-tanggung, mereka adalah para pejabat yang menyandang tanda bintang di pundak. Kata orang bijak, profesi pejabat memang dekat dengan penjahat.
Waktu aku masih kecil, aku pikir penegak hukum adalah para superhero yang siap membela kebenaran. Begitu besar sedikit, aku mulai tahu bahwa para penegak hukum rupanya bisa juga jadi penjahat, tapi aku tahunya cuma ada di India, karena aku kadang suka nonton film India. Begitu dewasa, aku mulai paham bahwa korupsi di indonesia sudah sangat mewabah, bahkan para penegak hukum juga ikut serta ambil bagian dalam rangka mensukseskan korupsi menjadi tradisi negeri.
Kalau korupsi sudah menjadi tradisi, dan dilakukan secara berjamaah, apa masih pantas para pelakunya disebut oknum? oknum secara harfiah berarti perseorangan atau pribadi. Kadang kata ini lebih bermakna negatif  karena lebih sering digunakan untuk mewakili orang yang berbuat nakal dalam suatu lembaga. Lha kalau pelakunya buanyak (dalam 1 lembaga), apa masih pantas disebut oknum?
Lha wong kalau ada anggotanya yang ketahuan korupsi, lembaga yang bersangkutan berupaya melindungi. Alasannya macem-macem, caranya pun bervariasi. Jangan-jangan dengan melindungi 1 atau beberapa orang yang ketahuan, berarti melindungi banyak orang atau kepentingan yang lebih banyak dan lebih besar, yang tentunya masih tersembunyi.
Bagi para pembaca, silahkan nikmati ceritanya, resapi alurnya, tapi jangan kecewa kalau endingnya ga jelas, sudah tradisi…
Wassalam,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.